Nurcholis Madjid, salah satu cendekiawan besar muslim Indonesia membagi pesantren (dalam karyanya Bilik-bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta:Paramadina, 1997), terkait dengan respon jagat pesantren terhadap tantangan dan arus jaman, ke dalam empat jenis. Pesantren jenis pertama adalah pesantren modern yang penuh ghirah membenahi pesantren dengan sistem yang kompatibel dengan semangat modernitas.
Pesantren kedua, pesantren yang melek kemajuan jaman sekaligus tetap mempertahankan nilai-nilai yang positif dari tradisi. Pesantren ketiga adalah pesantren yang juga memahami aspek positif modernitas namun tetap memilih menjadi jangkar bagi persemaian semangat tradisionalisme. Sedangkan pesantren jenis keempat adalah pesantren yang bersikap antagonis terhadap gegap gempita modernisasi. Saat ini, jenis yang terbanyak adalah pesantren ragam kedua.
Karena prinsip yang umum dianut oleh dunia pesantren adalah konsep qaidah yang berbunyi : al-muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah, melestarikan tradisi yang masih baik sekaligus mengadopsi hal-hal baru yang jauh lebih baik. Adapun pesantren dengan tipe terakhir, dalam perkiraan penulis, jarang ditemukan atau bahkan sudah tidak ada lagi di saat ini.
Klasifikasi Cak Nur terhadap jenis pesantren tersebut cukup membantu kita melihat peta keseluruhan respon dunia pesantren terhadap modernitas. Namun saat ini, tantangan dunia pesantren yang sesungguhnya jauh lebih kongkrit. Klasifikasi di atas terlalu sederhana untuk menjawab tantangan bagi permasalahan yang harus dihadapi dunia pesantren. Modernitas yang mengusung nilai-nilai budaya baru melalui kecanggihan tehnologi dan alat komunikasi, telah menelusup jauh masuk ke seluruh lini kehidupan masyarakat, tak terkecuali dunia pesantren.
Pesantren yang menganut asas kesederhanaan, lambat-laun mulai direpotkan oleh fenomena "sensitif tehnologi" di tengah-tengah masyarakat yang menjalar ke dunia pesantren. Salah satu budaya baru yang potensial menghadirkan ancaman adalah arus komunikasi yang serba mudah dengan kehadiran telepon genggam (handphone/telepon seluler). Demam handphone (HP) merupakan salah satu dari bentuk "sensitif tehnologi" yang mewabah di masyarakat terutama para muda. Ruang-ruang interaksi remaja kita saat ini dominan oleh perbincangan mengenai tetek-bengek HP. Para santri pesantren yang mayoritas remaja akan sulit dibendung dari filtrasi "virus sensitif tehnologi" semacam demam HP ini. Tanpa mengesampingkan kegunaan positif dari alat komunikasi semacam HP, potensi negatif alat tersebut akan sangat kasat mata di tangan para remaja dan santri. Lebih-lebih di tengah maraknya peredaran video-video compress mesum yang dengan mudah disimpan dan dipertontonkan melalui HP. Ancamannya tidak main-main bagi dunia pesantren: badai kemerosotan moralitas yang luar biasa.Situasi yang serba terbuka saat ini akan menyulitkan para pengasuh pesantren untuk mengambil langkah-langkah preventif (pencegahan) yang efektif sekalipun. Potensi merusak dari tehnologi komunikasi semacam HP, lambat tapi pasti, akan menemukan momentumnya untuk menghantam telak nilai-nilai tradisi pesantren.
Selama ini dampak tehnologi yang mempertontonkan adegan-adegan mesum relatif dapat dilokalisir, namun kehadiran HP mengakibatkan tayangan-tayangan pornografi dan pornoaksi dapat dengan mudah menyusup ke ruang-ruang privat tanpa dapat dikontrol lagi. Pemerintah yang seharusnya dapat berperan membendung akses-akses utama pornografi dan pornoaksi, jauh dari harapan yang dapat digantungkan oleh dunia pesantren.Dengan demikian, pesantren tidak boleh termangu untuk mengatasi bahaya laten tehnologi informatika. Pesantren harus proaktif memikirkan dan mengambil langkah-langkah nyata untuk mengendalikan dampak kehadiran alat tehnologi semacam HP tersebut. Salah satu langkah nyata yang dapat diambil adalah terus menumbuhkembangkan sikap kedewasaan dan tanggungjawab para santri. Cara mengucilkan para santri dari dunia tehnologi justru akan menjadikan para santri pribadi-pribadi yang gugup dan gagap terhadap perkembangan jaman dan pada gilirannya hanya akan mengantar mereka menjadi pemuja-pemuja tehnologi tanpa bekal pengetahuan yang memadai mengenai aspek negatifnya. Para orang tua juga tidak dapat tinggal diam. Mereka harus turut aktif dan berupaya dengan keras untuk mengontrol perilaku generasi-generasi penerusnya. Sinergi semua pihak akan sangat membantu dalam menghadapi efek-efek negatif modernisasi.
Ditulis oleh Syukron Affani, M.S.I ( http://www.pesantrenvirtual.com)
0 komentar:
Posting Komentar