Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun, sebagian besar waktu Rasulullah dihabiskan di Makkah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian” [Al-Israa : 106]
Oleh karena itu para ulama rahimahullahu membagi Al-Qur’an menjadi dua bagian : Makkiyah dan Madaniyah.
Makkiyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhamamd Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum berhijrah ke Madinah.
Madaniyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah berhijrah ke Madinah.
Dengan dasar ini, maka firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Ma’idah : 3]
Termasuk ayat Madaniyah walaupun diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’ di Arafah.
Dalam kitab Shahih Bukhari [1] diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Kami tahu hari itu dan tempat wahyu tersebut turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wahyu tersebut turun sementara Rasulullah sedang berdiri berkhutbah hari Jum’at di padang Arafah”.
PERBEDAAN ANTARA AYAT-AYAT MAKKIYAH DAN AYAT-AYAT MADANIYAH DILIHAT DARI KONTEKS KALIMAT DAN KANDUNGAN
[a]. Perbedaan Pada Konteks Kalimat.
1. Kebanyakan ayat-ayat Makiyyah memakai konteks kalimat tegas dan lugas karena kebanyakan obyek yang didakwahi menolak dan berpaling, maka hanya cocok mempergunakan konteks kalimat yang tegas. Baca surat Al-Muddatstsir dan surat Al-Qamar.
Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan mempergunakan konteks kalimat yang lunak karena kebanyakan obyek yang didakwahi menerima dan taat. Baca surat Al-Maa’idah.
2. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah adalah ayat-ayat pendek dan argumentatif, karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari, sehingga konteks ayatpun mengikuti kondisi yang berlaku. Baca surat Ath-Thuur.
Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan adalah ayat-ayat pendek, penjelasan tentang hukum-hukum dan tidak argumentatif, karena disesuaikan dengan kondisi obyek yang didakwahi. Baca ayat tentang hutang-piutang dalam surat Al-Baqarah.
[b]. Perbedaan Pada Materi Pembahasan
1. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah berisikan penetapan tauhid dan aqidah yang benar, khususnya yang berkaitan dengan Tauhid Uluhiyah dan iman kepada hari kebangkitan ; karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari hal itu.
Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan berisikan perincian masalah ibadah dan muamalah, karena obyek yang didakwahi sudah memiliki Tauhid dan aqidah yang benar sehingga mereka membutuhkan perincian ibadah dan muamalah.
2. Penjelasan secara rinci tentang jihad berserta hukum-hukumnya dan kaum munafik beserta segala permasalahannya karena memang kondisinya menuntut demikian. Hal itu ketika disyariatkannya jihad dan timbulnya kemunafikan, berbeda halnya dengan ayatayat Makkiyah.
MANFAAT MENGETAHUI PEMBAGIAN MAKKIYAH DAN MADANIYAH
Pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah adalah bagian dari ilmu-ilmu Al-Qur’an yang sangat penting. Hal itu karena pada pengetahuan tersebut memiliki beberapa manfaat, di antaranya.
1. Nampak jelas sastra Al-Qur’an pada puncak keindahannya, yaitu ketika setiap kaum diajak berdialog yang sesuai dengan keadaan obyek yang didakwahi ; dari ketegasan, kelugasan, kelunakan dan kemudahan.
2. Nampak jelas puncak tertinggi dari hikmah pensyariatan diturunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan prioritas terpenting kondisi obyek yang di dakwahi serta kesiapan mereka dalam menerima dan taat.
3. Pendidikan dan pengajaran bagi para muballigh serta pengarahan mereka untuk mengikuti kandungan dan konteks Al-Qur’an dalam berdakwah, yaitu dengan mendahulukan yang terpenting di antara yang penting serta menggunakan ketegasan dan kelunakan pada tempatnya masing-masing
4. Membedakan antara nasikh dan mansukh ketika terdapat dua buah ayat Makkiyah dan Madaniyah, maka lengkaplah syarat-syarat nasakh karena ayat Madaniyah adalah sebagai nasikh (penghapus) ayat Makkiyah disebabkan ayat Madaniyah turun setelah ayat Makkiyah.
[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy
Hikmah Turunnya Al-Qur’an secara Berangsur-angsur
Telah jelas dari pembagian Al-Qur’an menjadi ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah menunjukkan bahwa Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur’an dengan cara tersebut memiliki hikmah yang banyak, di antaranya:
1. Pengokohan hati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيْلاً. وَلاَ يَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيْرًا
“Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’, demikianlah (yaitu demikianlah Kami turunkan secara berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqaan: 32-33)
2. Memberi kemudahan bagi manusia untuk menghafal, memahami serta mengamalkan serta mengamalkannya karena Al-Qur’an dibacakan kepada mereka secara bertahap. Berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
3. Memberikan semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diturunkan di dalam Al-Qur’an karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya ayat, terlebih lagi ketika mereka sangat membutuhkannya. Seperti dalam ayat-ayat Ifk dan Li’an.
4. Penetapan syari’at secara bertahap sampai kepada tingkatan yang sempurna. Seperti yang terdapat dalam ayat khamar yang mana manusia pada masa itu hidup dengan khamr dan terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sulit jika mereka diperintahkan secara spontan meninggalkannya secara total. Maka untuk pertama kali turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla yang menerangkan keadaan mereka:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيْهِمَا إِثْمٌ كَبِيْرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan berupa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’” (QS. Al-Baqarah: 219)
Ayat ini membentuk kesiapan jiwa-jiwa manusia untuk pada akhirnya mau menerima pengharaman khamr, dimana akal menuntut untuk tidak membiasakan diri dengan sesuatu yang dosanya lebih besar daripada manfaatnya.
Kemudian yang kedua turun firman Allah ‘Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا لاَ تَقْرَبُوا الصَّلَوةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُوْلُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43)
Dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk untuk membiasakan meninggalkan khamar pada keadaan-keadaan tertentu yaitu waktu shalat.
Kemudian tahap ketiga turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. إِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلَوةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ. وَأَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُوْلِنَا الْبَلاَغُ الْمُبِيْنُ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, beribadah kepada berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) arak atau berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. Al-Maa’idah: 90-91)
Dalam ayat di atas terdapat larangan meminum khamar pada semua keadaan, hal itu sempurna setelah melalui tahap pembentukan kesiapan jiwa-jiwa manusia kemudian diperintah untuk membiasakan diri meninggalkan khamar pada keadaan tertentu.
(Dinukil dari “Bagaimana Kita Memahami Al-Qur’an” karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerjemah: Muhammad Qawwam, LC., Abu Luqman, penerbit: Cahaya Tauhid Press Malang, cet. ke-1 Muharram 1427 H / Pebruari 2006 M, hal. 33-38)
“Artinya : Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian” [Al-Israa : 106]
Oleh karena itu para ulama rahimahullahu membagi Al-Qur’an menjadi dua bagian : Makkiyah dan Madaniyah.
Makkiyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhamamd Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum berhijrah ke Madinah.
Madaniyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah berhijrah ke Madinah.
Dengan dasar ini, maka firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Ma’idah : 3]
Termasuk ayat Madaniyah walaupun diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’ di Arafah.
Dalam kitab Shahih Bukhari [1] diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Kami tahu hari itu dan tempat wahyu tersebut turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wahyu tersebut turun sementara Rasulullah sedang berdiri berkhutbah hari Jum’at di padang Arafah”.
PERBEDAAN ANTARA AYAT-AYAT MAKKIYAH DAN AYAT-AYAT MADANIYAH DILIHAT DARI KONTEKS KALIMAT DAN KANDUNGAN
[a]. Perbedaan Pada Konteks Kalimat.
1. Kebanyakan ayat-ayat Makiyyah memakai konteks kalimat tegas dan lugas karena kebanyakan obyek yang didakwahi menolak dan berpaling, maka hanya cocok mempergunakan konteks kalimat yang tegas. Baca surat Al-Muddatstsir dan surat Al-Qamar.
Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan mempergunakan konteks kalimat yang lunak karena kebanyakan obyek yang didakwahi menerima dan taat. Baca surat Al-Maa’idah.
2. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah adalah ayat-ayat pendek dan argumentatif, karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari, sehingga konteks ayatpun mengikuti kondisi yang berlaku. Baca surat Ath-Thuur.
Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan adalah ayat-ayat pendek, penjelasan tentang hukum-hukum dan tidak argumentatif, karena disesuaikan dengan kondisi obyek yang didakwahi. Baca ayat tentang hutang-piutang dalam surat Al-Baqarah.
[b]. Perbedaan Pada Materi Pembahasan
1. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah berisikan penetapan tauhid dan aqidah yang benar, khususnya yang berkaitan dengan Tauhid Uluhiyah dan iman kepada hari kebangkitan ; karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari hal itu.
Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan berisikan perincian masalah ibadah dan muamalah, karena obyek yang didakwahi sudah memiliki Tauhid dan aqidah yang benar sehingga mereka membutuhkan perincian ibadah dan muamalah.
2. Penjelasan secara rinci tentang jihad berserta hukum-hukumnya dan kaum munafik beserta segala permasalahannya karena memang kondisinya menuntut demikian. Hal itu ketika disyariatkannya jihad dan timbulnya kemunafikan, berbeda halnya dengan ayatayat Makkiyah.
MANFAAT MENGETAHUI PEMBAGIAN MAKKIYAH DAN MADANIYAH
Pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah adalah bagian dari ilmu-ilmu Al-Qur’an yang sangat penting. Hal itu karena pada pengetahuan tersebut memiliki beberapa manfaat, di antaranya.
1. Nampak jelas sastra Al-Qur’an pada puncak keindahannya, yaitu ketika setiap kaum diajak berdialog yang sesuai dengan keadaan obyek yang didakwahi ; dari ketegasan, kelugasan, kelunakan dan kemudahan.
2. Nampak jelas puncak tertinggi dari hikmah pensyariatan diturunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan prioritas terpenting kondisi obyek yang di dakwahi serta kesiapan mereka dalam menerima dan taat.
3. Pendidikan dan pengajaran bagi para muballigh serta pengarahan mereka untuk mengikuti kandungan dan konteks Al-Qur’an dalam berdakwah, yaitu dengan mendahulukan yang terpenting di antara yang penting serta menggunakan ketegasan dan kelunakan pada tempatnya masing-masing
4. Membedakan antara nasikh dan mansukh ketika terdapat dua buah ayat Makkiyah dan Madaniyah, maka lengkaplah syarat-syarat nasakh karena ayat Madaniyah adalah sebagai nasikh (penghapus) ayat Makkiyah disebabkan ayat Madaniyah turun setelah ayat Makkiyah.
[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy
Hikmah Turunnya Al-Qur’an secara Berangsur-angsur
Telah jelas dari pembagian Al-Qur’an menjadi ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah menunjukkan bahwa Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur’an dengan cara tersebut memiliki hikmah yang banyak, di antaranya:
1. Pengokohan hati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيْلاً. وَلاَ يَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيْرًا
“Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’, demikianlah (yaitu demikianlah Kami turunkan secara berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqaan: 32-33)
2. Memberi kemudahan bagi manusia untuk menghafal, memahami serta mengamalkan serta mengamalkannya karena Al-Qur’an dibacakan kepada mereka secara bertahap. Berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
3. Memberikan semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diturunkan di dalam Al-Qur’an karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya ayat, terlebih lagi ketika mereka sangat membutuhkannya. Seperti dalam ayat-ayat Ifk dan Li’an.
4. Penetapan syari’at secara bertahap sampai kepada tingkatan yang sempurna. Seperti yang terdapat dalam ayat khamar yang mana manusia pada masa itu hidup dengan khamr dan terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sulit jika mereka diperintahkan secara spontan meninggalkannya secara total. Maka untuk pertama kali turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla yang menerangkan keadaan mereka:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيْهِمَا إِثْمٌ كَبِيْرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan berupa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’” (QS. Al-Baqarah: 219)
Ayat ini membentuk kesiapan jiwa-jiwa manusia untuk pada akhirnya mau menerima pengharaman khamr, dimana akal menuntut untuk tidak membiasakan diri dengan sesuatu yang dosanya lebih besar daripada manfaatnya.
Kemudian yang kedua turun firman Allah ‘Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا لاَ تَقْرَبُوا الصَّلَوةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُوْلُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43)
Dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk untuk membiasakan meninggalkan khamar pada keadaan-keadaan tertentu yaitu waktu shalat.
Kemudian tahap ketiga turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. إِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلَوةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ. وَأَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُوْلِنَا الْبَلاَغُ الْمُبِيْنُ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, beribadah kepada berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) arak atau berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. Al-Maa’idah: 90-91)
Dalam ayat di atas terdapat larangan meminum khamar pada semua keadaan, hal itu sempurna setelah melalui tahap pembentukan kesiapan jiwa-jiwa manusia kemudian diperintah untuk membiasakan diri meninggalkan khamar pada keadaan tertentu.
(Dinukil dari “Bagaimana Kita Memahami Al-Qur’an” karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerjemah: Muhammad Qawwam, LC., Abu Luqman, penerbit: Cahaya Tauhid Press Malang, cet. ke-1 Muharram 1427 H / Pebruari 2006 M, hal. 33-38)
0 komentar:
Posting Komentar