Rabu, 25 Juli 2012

Adab Bertanya Kepada Ahli Ilmu

Oleh: Syaikh Shalih bin Abdil ‘Aziz Alu Asy Syaikh
Ada beberapa keadaan yang berkaitan dengan masalah bertanya kepada ahli ilmu. Tentu manusia butuh untuk bertanya, namun pertanyaan ini bisa bermacam-macam keadaan. Keadaan yang berkaitan dengan penanya, serta keadaan yang berkaitan dengan orang yang ditanya.
Adapun bagi penanya, hendaknya ia memperhatikan adab-adab sehingga orang yang ditanya dapat menjawab dengan jawaban yang pas dan benar -Insya Allah-. Oleh karena, wajib bagi penanya untuk memperhatikan beberapa adab-adab dalam bertanya,
diantaranya:

Persiapkan pertanyaan dengan baik
Salah satu adab yang mesti diperhatikan oleh penanya adalah bertanya dengan pertanyaan yang jelas dan tidak samar, yaitu menjelaskan duduk permasalahan sebelum bertanya. Perlu digaris-bawahi bahwa sebagian kaum muslimin ketika mendapatkan masalah atau musykilah (keraguan), lantas ia mendatangi ahli ilmu dan langsung bertanya tanpa mempersiapkan rincian permasalahannya. Atau terkadang, ia langsung menyalakan telepon lalu bertanya tentang hal yang mengganggunya tanpa menjelaskan keadaan yang berhubungan dengan pertanyaan. Atau ketika ia hendak meminta penjelasan, ia mendatangi orang alim lalu bertanya dengan beberapa rincian saja, lalu berkata: “Demi Allah, saya tidak tahu tentang hal ini wahai orang alim, nasehatilah saya“. Demikian. Tentu orang alim tadi menjawab: “Saya tidak tahu“.
Maka penanya hendaknya mempersiapkan rincian pertanyaan sebelum bertanya. Karena pertanyaan yang anda tanyakan adalah tentang hukum Allah Jalla Wa ‘Ala, yang jika anda mendapatkan jawabannya anda akan terbebas dari kesusahan. Dan orang alim yang ditanya pun mendapatkan gambaran pertanyaan dengan jelas. Karena jika tidak jelas, bagaimana mungkin ia dapat menjawab hal yang belum jelas?

Memperhatikan waktu ahli ilmu
Dengan demikian, hendaknya yang pertama dilakukan oleh penanya adalah mempersiapkan pertanyaan dengan baik dan bahasa yang sesingkat mungkin. Jangan anda mengira bahwa orang yang biasa ditanya masalah agama, yaitu mufti atau para thalibul ilmi yang dapat menjawab pertanyaan, janganlah anda mengira mereka itu hanya ditanya satu atau dua pertanyaan saja. Di zaman ini, dengan telepon, pada ahli ilmu memungkinkan untuk dihubungi baik dari daerah sendiri atau dari luar daerah. Bahkan mereka ditanya puluhan ribu kali dalam setahun, atau 20-30 pertanyaan sehari. Oleh karena itu, salah satu adab yang mesti diperhatikan oleh penanya, hendaknya penanya menyadari sempitnya waktu sang mufti tersebut, dan sempitnya waktu yang ia miliki untuk melayani pertanyaan.
Hendaknya ia mempersiapkan pertanyaan dengan bahasa yang jelas dan tidak samar serta bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu sang mufti yang terbatas itu, sehingga pertanyaan yang ia sampaikan jadi bermanfaat. Dengan kata lain, jangan anda berpikiran bahwa yang dibalas teleponnya atau dijawab pertanyaannya hanyalah anda satu-satunya. Bahkan hendaknya anda menyadari bahwa yang bertanya kepada sang mufti ada puluhan orang yang bertanya setiap waktu. Sehingga wajib baginya memperhatikan kondisi dan adab, terutama dalam menyingkat pertanyaan. Dan jawaban pun tergantung dari pertanyaan yang disampaikan. Jika pertanyaan jelas, jawaban pun akan jelas. Oleh karena itu, anda lihat bahwa pertanyaan Malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam merupakan dalil anjuran untuk bertanya dengan jelas dan dalil bahwa jawaban yang jelas itu dibangun dari pertanyaan yang jelas. Jibril ‘Alaihissalam bertanya kepada Nabi: “Kabarkan kepadaku tentang Islam“, ini pertanyaan yang jelas dan ringkas. Lalu “Kabarkan kepadaku tentang iman“, “Kabarkan kepadaku tentang ihsan“, “Apa tanda-tanda kiamat?“, dan semisal itu. Ini semua pertanyaan yang jelas, bahasa ringkas, dan diawali dengan rincian serta pertanyaan yang jelas sebelum bertanya. Inilah adab yang mestinya diperhatikan.
Kebanyakan yang terjadi, ketika jawaban seorang mufti tidak jelas itu disebabkan oleh pertanyaan yang tidak jelas. Andai penanya bertanya dengan mempersiapkan pertanyaan dengan baik lalu baru bertanya, tentu jawaban akan jelas.

Tidak bertanya yang sudah diketahui
Adab lain yang perlu diperhatikan oleh penanya adalah tidak bertanya tentang sesuatu yang sudah ia ketahui jawabannya. Sebagian penuntut ilmu, atau orang yang sudah bisa menelaah masalah, terkadang sudah pernah menelaah sebuah masalah dan mengetahui pendapat-pendapat para ulama tentang hal tersebut, namun ia datang kepada mufti lalu bertanya. Jika sang mufti menjawab dengan jawaban yang sesuai dengan salah satu pendapat yang ada, namun terdapat pendapat ulama yang berlainan, si penanya berkata: “Apa dalil jawaban anda?“. Jika dalilnya dijelaskan, si penanya pun membantah dalil tersebut, atau ditentang dengan dalil lain, atau ia berkata “Sebagian ulama berkata tidak demikian“, atau semacamnya. Bedakanlah antara bertanya untuk mengambil manfaat atau untuk mengajari -padahal anda orang yang tidak tahu- atau untuk mengajak diskusi. Karena bukan itu (melayani debat, pent.) tugas seorang ulama.
Dan anda pun belum membuka diskusi misalnya dengan berkata: ‘Saya ingin mengajak anda berdiskusi tentang masalah ini‘. Apa yang dimaksud mengajak diskusi? Maksudnya ‘aku akan berdebat denganmu, agar engkau tahu apa pendapat dan dalilku dan aku tahu pendapat dan dalilmu, sampai kita bertemu titik kebenaran‘. Bukan ini yang diharapkan, terlebih lagi hal ini merupakan sikap tidak sopan terhadap ahli ilmu. Karena perbuatan tersebut termasuk melukai hak seorang ulama, kecuali jika anda memaparkan bahwa anda ingin meminta bantuan beliau untuk meneliti sebuah permasalahan. Jika demikian, anda memiliki sebuah penelitian, dari penelitian itu dikeluarkan pertanyaan untuk diminta fatwa dari sang mufti, anda bertanya, mufti menjawab dan menjelaskan.
Sikap gemar bertanya hal yang sudah diketahui jawabannya ini terkadang juga terjadi di kalangan para penuntut ilmu di majelis ilmu.Ia mengetahui jawabannya namun tetap bertanya agar orang lain tahu bahwa ia mengajukan pertanyaan yang bagus, atau semisal itu. Mulai dari sekarang, kurangilah bertanya hal yang sudah diketahui jawabannya, dan bertanyalah pada hal yang belum tahu saja. Demikianlah adabnya. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu
Jika sudah tahu, jangan bertanya. Karena anda sudah punya ilmunya, dan waktu seorang mufti atau seorang penuntut ilmu itu dapat digunakan untuk kepentingan dan kewajiban lain yang sangat banyak. Sehingga ia dapat menghemat waktu untuk aktifitas yang lainnya.

Cukup bertanya kepada satu orang ahli ilmu yang dipercaya
Adab lain yang mesti diperhatikan adalah jangan menyebutkan pendapat mufti lain kepada mufti yang ditanya. Sebagian orang bertanya lewat telepon sekali, setelah itu bertanya lagi kepada yang lain, lalu bertanya lagi kepada yang lain, lalu bertanya lagi kepada yang lain. Akhirnya ia pun bingung. Karena bingung, akhirnya ia pun memilih jawaban yang paling enak dan ringan. Ini tidak patut. Hendaknya penanya jika memiliki pertanyaan ia datang kepada seorang alim yang ia percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya. Sebagaimana perkataan para ulama:
ينبغي للمستفتي أنْ يسأل من يثق بعلمه ودينه
Hendaknya penanya itu bertanya kepada orang yang ia percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya
Jika anda percaya kepada Fulan maka tanyalah ia, lalu setelah itu jangan tanya lagi kepada yang lain. Karena jika anda bertanya kepada yang lain, kadang akan mendapatkan jawaban berbeda yang membuat anda bingung.
Terkadang anda boleh bertanya kepada lebih dari satu orang, jika jawaban pertama itu meragukan dari sisi dalil. Yaitu jika penanya memiliki sedikit ilmu tentang dalil lalu jawaban pertama agak meragukan dari sisi dalil, maka boleh bertanya kepada yang lain. Karena dalam hal ini, apakah jawaban yang membuat anda puas bukanlah yang cocok dengan kondisi anda, atau jawaban yang tidak sulit mengamalkannya, atau karena anda berniat mencari-cari jawaban yang paling enak dan ringan? Tidak, namun dari sisi adanya keraguan apakah jawaban tersebut memang benar-benar sesuai dengan apa yang diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam atau tidak? Ini terjadi jika penanya tahu sebagian dalil yang bertentangan dengan jawaban pertama.
Oleh karena ini, merupakan adab dalam bertanya adalah tidak bertanya kepada lebih dari satu orang alim untuk satu pertanyaan, karena dapat berakibat:
  1. Membuang-buang waktu orang alim
  2. Dapat menyebabkan penanya kebingungan. Kebanyakan mereka berkata: “Saya sudah lelah bertanya namun masih bingung. Mufti A berkata demikian, Mufti B berkata demikian“. Kita katakan: “Anda yang salah dari awal. Karena anda bertanya kepada lebih dari satu orang alim. Tanyalah kepada orang alim yang anda percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya. Ambillah fatwanya dan anda pun tidak ada beban lagi di hadapan Allah. Karena yang Allah perintahkan kepada anda adalah bertanya kepada ahli dzikir, dan anda telah melaksanakannya. Janganlah menambah-nambah beban bagi diri anda”
Bertanya dengan lugas, tidak berputar-putar
Adab lain yang juga mesti diperhatikan adalah tidak bertanya dengan pertanyaan yang berputar-putar. Misalnya seseorang bertanya: “Ada orang yaitu si Fulan, ia mengalami ini dan itu…”. Padahal penanya ini ingin menanyakan permasalahan yang terjadi padanya dengan memberikan pertanyaan yang kasusnya mirip. Penanya ini mengira, jika pertanyaan ini dijawab, maka jawaban itu berlaku juga untuk dirinya. Padahal pada kenyataannya masalah yang dimiliki si penanya berbeda dengan yang ditanyakan, namun si penanya mengira sama. Orang alim yang ditanya pun tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya dan ia tidak tahu bahwa yang butuh solusi adalah si penanya itu, akhirnya orang alim ini menjawab secara umum saja.
Bertanya kepada ahli ilmu bukanlah aib, bahkan itu perbuatan mulia. Karena menunjukkan bahwa si penanya bersemangat dalam kebaikan dan untuk terlepas dari bebannya, sehingga dapat meringankan kesulitan ia kelak ketika menghadap Allah Ta’ala. Ketika anda bertanya, janganlah bertanya dengan berputar-putar. Tanyalah secara jelas sesuai dengan kenyataan yang ada, janganlah segan. Sebagian shahabiyyah pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang haid, tentang kehamilan bagaimana hukumnya, dll. Dalam pertanyaan bukanlah tempatnya untuk malu-malu. Malu itu memang terpuji, namun jika malu itu dapat menjauhkan anda dari ilmu tentang hukum Allah maka saat itu malu tidak terpuji, sebagaimana terdapat dalam hadits.
Jika demikian, termasuk adab yang mesti diperhatikan oleh penanya adalah bertanya sesuai dengan kebutuhannya. Jangan mengira bahwa jika anda memutar-mutar pertanyaan, anda akan mendapatkan jawaban yang sesuai dengan kebutuhan anda. Padahal sebaliknya, ternyata jika permasalahan atau kejadian itu dijelaskan dengan jelas justru akan didapatkan jawaban yang 100% berbeda. Oleh karena itu jangan berputar-putar ketika bertanya kepada ahli ilmu, baik dalam permasalahan fiqih, masalah pribadai atau yang berkaitan dengan kejadian-kejadian. Bertanyalah dengan jelas, dan ini termasuk menghormati ahli ilmu serta merupakan usaha untuk mendapatkan jawaban yang benar. Adapun jika kita ‘membodohi’ para ahli ilmu sehingga kita mendapatkan jawaban mereka, ini bukan sikap yang layak. Yang layak adalah memuliakan mereka. Perbuatan ini pun membuat anda belum terlepas dari beban untuk bertanya kepada ahli ilmu. Karena anda yang telah membuat orang alim tersebut menjawab, padahal jika anda menjelaskan pertanyaan sesuai keadaan sebenarnya terkadang jawabannya berbeda. Oleh karena itu, anda belum bebas dari beban
Dari hal ini, saya memandang bahwa permasalahan-permasalahan yang terjadi berupa dipertentangkannya fatwa-fatwa ulama, baik dalam masalah fiqih, masalah aktual, masalah sosial, atau yang lain, adalah karena orang yang bertanya menggunakan pertanyaan yang berputar-putar dan menyamarkan sang mufti. Yang dimaksud bukanlah yang ditanyakan. Sikap ini tidaklah layak. Karena Allah Ta’ala memerintahkan kita dengan perintah yang jelas, yaitu bertanya. Sedangkan perbuatan ini termasuk melampaui batas dari yang selayaknya, yaitu bertanya dengan adab yang baik.

Bertanya untuk diri sendiri
Adab lain yang semestinya diperhatikan ketika bertanya adalah hendaknya penanya bertanya untuk dirinya dan bukan untuk orang lain. Banyak penanya yang berkata: “Temanku titip pesan, ia bertanya tentang ini dan itu…”. Atau ia berkata: “Jika Fulan -yaitu teman kerjanya- demikian, maka ia akan mengalami demikian dan demikian, ia titip pesan untuk menanyakannya kepada anda”. Keadaannya bisa bermacam-macam. Padahal seorang mufti tentu akan meminta rincian, dan tentu ia akan bertanya tentang rincian itu, misalnya: “Bagaimana kejadian sebenarnya?”, atau “Apakah kejadiannya seperti ini dan itu?”. Jika penanya ini bukanlah orang yang memiliki pertanyaan, ia tentu tidak bisa menjawab pertanyaan tentang rincian tersebut, melainkan hanya tahu sebatas pertanyaan singkat yang diberikan.
Dan terkadang, hal yang dapat membuat penanya yang sebenarnya langsung bertanya kepada orang alim adalah adanya keseganan atau rasa malu. Sebagaimana yang terjadi pada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu, ia lelaki yang sering keluar banyak madzi. Namun ia malu bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam karena Nabi adalah mertuanya. Ali pun segan dan malu untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang hal yang berhubungan dengan perihal suami-istri ini. Maka Ali pun mengutus Miqdad untuk menanyakan kepada Nabi tentang masalah ini. Lalu Nabi menjawab. Kemudian Miqdad Radhiallahu’anhu menukilkan jawaban tersebut kepada Ali Radhiallahu’anhu.
Jika demikian, pada asalnya seseorang hendaknya tidak bertanya kecuali yang khusus untuk dirinya. Karena jawaban pertanyaan bisa berbeda-beda tergantung penanya dan tergantung konteks pertanyaan. Selain itu, orang yang dipesankan pertanyaan tidak selalu pasti bisa menjelaskan jawaban sesuai dengan yang sebenarnya. Dan kebanyakan dari kondisi ini, jawaban dari fatwa bisa didapatkan jika pertanyaan ini tidak ada kesamaran dalam konteks pertanyaan.
Jangan terburu-buru minta dijawab dengan segera
Adab lain yang semestinya diperhatikan adalah jika anda bertanya kepada ahli ilmu lewat telepon atau bukan lewat telepon, janganlah meminta untuk dijawab dengan segera secara tertulis atau dijawab dalam rekaman, kecuali jika orang alim tersebut mengizinkan. Kejadian ini sering saya dapati berkali-kali, yaitu sebagian ikhwah mereka merekam jawaban dari ahli ilmu dengan cara yang tidak layak. Hal ini dikarenakan seorang alim hanya menjawab sesuai kadar pertanyaan dari si penanya. Yang bisa jadi, jika orang alim ini sebelumnya diberitahu bahwa jawaban beliau itu direkam dan akan diperdengarkan kepada orang banyak, jawabannya akan berbeda. Dan hal ini termasuk kurang hormat kepada ahli ilmu dan kurang memperhatikan adab terhadap mereka, yaitu merekam jawaban dari ahli ilmu dengan telepon atau tulisan, lalu disebarkan tanpa izin mereka. Karena ahli ilmu memiliki hak untuk memutuskan fatwanya boleh disebar secara penuh kepada orang banyak atau tidak. Dan penanya hendaknya bertanya khusus untuk dirinya. Jika anda memang ingin merekamnya, hendaknya diawal pertanyaan anda mengatakan: “Semoga Allah memberikan kebaikan untuk anda. Saya bermaksud untuk merekam jawaban anda dalam rekaman, dan rekaman akan dimulai dari sekarang”. Jika beliau memang mengizinkan, maka anda telah melakukan adab yang selayaknya.
Kemudian jangan berlaku kurang hormat serta membuat duduk perkaranya kurang jelas, yaitu seseorang memanfaatkan beberapa kesempatan, merekam jawaban dari ahli ilmu, yang sebenarnya tidak disukai oleh ahli ilmu yang memfatwakannya. Hal ini berkali-kali terjadi, ketika ahli ilmu tersebut dikonfirmasi mengenai rekaman fatwa tadi, ia berkata: “Saya tidak pernah berkata demikian secara rinci, karena dalam masalah ini ada perincian”. Nah coba perhatikan, jawaban di rekaman sudah jelas, namun mengapa ahli ilmu tersebut mengatakan dalam masalah tersebut masih ada perincian? Jawabannya, karena sekarang beliau sudah memiliki gambaran permasalahan sebenarnya, namun saat penanya bertanya lewat telepon beliau mengira pertanyaan ini bukanlah tentang diri si penanya tersebut.
Kita diperintahkan untuk menghormati ahli ilmu, sebagaimana terdapat dalam banyak atsar dari tabi’in yang menyatakan demikian. Dan termasuk dalam sikap hormat terhadap ahli ilmu adalah tidak bersikap lancang dengan menyebarkan rekaman perkataan mereka, atau menulisnya, kecuali ada penyataan dari mereka boleh untuk melakukannya. Demikian juga yang berupa rekaman syarah (penjelasan) tentang suatu masalah, seharusnya di serahkan dahulu kepada ahli ilmu tersebut, biar beliau yang memutuskan apakah akan disebarkan, akan di-edit, dihapus, atau boleh direkam semuanya. Seharusnya demikian. Karena terkadang, sebuah ilmu itu bermanfaat bagi sebagian kecil orang, namun tidak bermanfaat bagi sebagian besar orang. Karena kebanyakan orang, yaitu masyarakat, berbeda-beda tingkatan pemahamannya. Karena seorang alim, ketika akan berbicara, ia melihat keadaan audiens yang ada. Demikianlah. Jika seorang ulama sudah diberitahu bahwa jawabannya akan disebarkan kepada masyarakat yang berbeda-beda tingkat pemahamannya, ia akan menjawab dengan jawaban yang berbeda. Oleh karena itu, jika anda perhatikan anda akan menemukan seorang ulama memiliki jawaban berbeda antara menjawab pertanyaan lewat telepon dengan jawaban yang anda dengar dari acara Nuurun ‘Ala Darb. Bisa jadi pada jawaban tersebut memang terdapat tafshil (rincian), dalil (pendalilan lain), ta’lil (sisi alasan lain), atau semacamnya. Sehingga pada acara Nuurun ‘Ala Darb misalnya, beliau akan menjawab dengan lengkap. Sedangkan jawaban beliau terhadap anda lewat telepon cukup sekedar jawaban “ini benar”, atau “ini tidak benar”, atau “boleh”, atau “ini tidak boleh”, atau “yang sunnah adalah begini, (secara ringkas)”, karena waktunya sempit untuk menjawab dengan rinci kepada semua orang.
Demikianlah sebagian adab yang berkaitan dengan penanya.

[Dikutip dari transkrip ceramah beliau yang ada di web http://www.islamport.com/w/akh/Web/2312/5.htm ]

0 komentar:

Posting Komentar