4. Apakah seseorang yang terkena udzur untuk meninggalkan sholat Jumat menggantinya dengan sholat dzhuhur?
Jawab: Ya, menggantinya dengan sholat dzhuhur. Demikian juga seseorang yang ketinggalan (terlambat) sholat Jumat tidak mendapati minimal 1 rokaat.
Jawab: Ya, menggantinya dengan sholat dzhuhur. Demikian juga seseorang yang ketinggalan (terlambat) sholat Jumat tidak mendapati minimal 1 rokaat.
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Barangsiapa yang mendapati satu
rokaat dari sholat Jumat atau selainnya maka ia telah mendapati
sholat”(H.R Ibnu Majah dari Ibnu Umar).
Jika seseorang mendapati 1 rokaat sholat Jumat, ia tinggal menambah 1 rokaat lagi. Namun, jika ia tidak mendapatkan 1 rokaatpun, maka ia menggenapkan menjadi total 4 rokaat.
Terhitung satu rokaat jika seseorang mendapatkan ruku’ bersama Imam
مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوْعَ , فَقَدْ أَْدْرَكَ الرَّكْعَة
Barangsiapa yang mendapati ruku’ maka ia telah mendapatkan rokaat (riwayat Abu Dawud).
Batasannya adalah ruku’ di rokaat terakhir. Jika seseorang mendapati ruku’ imam di rokaat terakhir pada sholat Jumat, ia tinggal menambah 1 rokaat lagi. Namun, jika pada rokaat terakhir ia mendapati Imam sudah I’tidal atau setelahnya, maka ia harus sholat 4 rokaat lagi.
(Lihat Penjelasan alLajnah adDaimah).
Batasannya adalah ruku’ di rokaat terakhir. Jika seseorang mendapati ruku’ imam di rokaat terakhir pada sholat Jumat, ia tinggal menambah 1 rokaat lagi. Namun, jika pada rokaat terakhir ia mendapati Imam sudah I’tidal atau setelahnya, maka ia harus sholat 4 rokaat lagi.
(Lihat Penjelasan alLajnah adDaimah).
5. Bolehkah pelaksanaan sholat Jumat tidak di masjid?
Jawab:
Imam Malik berpendapat bahwa sholat Jumat harus dilakukan di masjid Jami’, sedangkan jumhurul Ulama’: Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa bangunan masjid bukanlah syarat ditegakkannya sholat Jumat. Artinya, sholat Jumat tidak harus dilakukan di masjid. Dalil yang dipakai Jumhurul Ulama’ tersebut di antaranya adalah atsar Umar bin al-Khottob:
Jawab:
Imam Malik berpendapat bahwa sholat Jumat harus dilakukan di masjid Jami’, sedangkan jumhurul Ulama’: Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa bangunan masjid bukanlah syarat ditegakkannya sholat Jumat. Artinya, sholat Jumat tidak harus dilakukan di masjid. Dalil yang dipakai Jumhurul Ulama’ tersebut di antaranya adalah atsar Umar bin al-Khottob:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ؛ أَنَّهُمْ كَتَبُوا إِلَى عُمَرَ يَسْأَلُونَهُ عَنِ الْجُمُعَةِ ؟ فَكَتَبَ : جَمِّعُوا حَيْثُمَا كُنْتُمْ
Dari Abu Hurairah bahwasanya mereka
menulis surat kepada Umar bertanya tentang (pelaksanaan) sholat Jumat,
maka Umar menulis: ‘Lakukanlah sholat Jumat di manapun kalian berada”
(riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya, Imam Ahmad menyatakan
bahwa sanad riwayat ini jayyid/baik).
Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa maksudnya lakukan sholat Jumat di manapun selama berada dalam lingkungan perkampungan/pemukiman, karena pada waktu itu mereka berada di Bahrain (Aunul Ma’bud juz 3 halaman 283).
Pendapat jumhur dan penjelasan Imam Asy-Syafi’i inilah yang benar. Sehingga, jika suatu tempat terkena bencana alam dan meruntuhkan bangunan masjidnya, maka seharusnya penduduk di wilayah tersebut yang masih selamat bisa melakukan sholat Jumat di areal sekitar puing-puing bangunan tersebut (meski sudah bukan berupa bangunan lagi).
Di sisi lain, tidak dibenarkan sholat Jumat yang dilakukan bukan di suatu perkampungan. Misal, sholat Jumat di atas kapal laut yang berlayar di tengah lautan, atau sholat Jumat di suatu hutan yang jauh dari pemukiman. Ini tidak dibenarkan. Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam sering melakukan safar bersama sejumlah Sahabat melintasi gurun pasir atau wilayah-wilayah yang jauh dari perkampungan, bertepatan dengan waktu Jumat beliau tidak melakukan sholat Jumat.
Tidak sepantasnya juga sholat Jumat dilakukan di tempat yang sebelumnya banyak digunakan untuk maksiat. Contoh, pelaksanaan sholat Jumat di aula kantor atau sekolah, yang aula tersebut digunakan untuk berbagai aktivitas, bahkan termasuk pergelaran musik, joget, dan semisalnya. Sholat Jumat tidak selayaknya dilakukan di tempat yang demikian.
Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa maksudnya lakukan sholat Jumat di manapun selama berada dalam lingkungan perkampungan/pemukiman, karena pada waktu itu mereka berada di Bahrain (Aunul Ma’bud juz 3 halaman 283).
Pendapat jumhur dan penjelasan Imam Asy-Syafi’i inilah yang benar. Sehingga, jika suatu tempat terkena bencana alam dan meruntuhkan bangunan masjidnya, maka seharusnya penduduk di wilayah tersebut yang masih selamat bisa melakukan sholat Jumat di areal sekitar puing-puing bangunan tersebut (meski sudah bukan berupa bangunan lagi).
Di sisi lain, tidak dibenarkan sholat Jumat yang dilakukan bukan di suatu perkampungan. Misal, sholat Jumat di atas kapal laut yang berlayar di tengah lautan, atau sholat Jumat di suatu hutan yang jauh dari pemukiman. Ini tidak dibenarkan. Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam sering melakukan safar bersama sejumlah Sahabat melintasi gurun pasir atau wilayah-wilayah yang jauh dari perkampungan, bertepatan dengan waktu Jumat beliau tidak melakukan sholat Jumat.
Tidak sepantasnya juga sholat Jumat dilakukan di tempat yang sebelumnya banyak digunakan untuk maksiat. Contoh, pelaksanaan sholat Jumat di aula kantor atau sekolah, yang aula tersebut digunakan untuk berbagai aktivitas, bahkan termasuk pergelaran musik, joget, dan semisalnya. Sholat Jumat tidak selayaknya dilakukan di tempat yang demikian.
6. Berapa batasan minimal jumlah jamaah sholat Jumat?
Jawab: Batasan minimal jumlah orang yang bisa melakukan sholat Jumat adalah 2 orang, sebagaimana sholat berjamaah yang lain. Telah disebutkan dalam hadits Thariq bin Syihab riwayat Abu Dawud bahwa sholat Jumat itu dilakukan harus berjamaah, sehingga persyaratan jumlah jamaahnya adalah 2 orang. Ini adalah pendapat Imam asy-Syaukani.
Dalilnya adalah hadits Thariq bin Syihab tersebut dan hadits:
Jawab: Batasan minimal jumlah orang yang bisa melakukan sholat Jumat adalah 2 orang, sebagaimana sholat berjamaah yang lain. Telah disebutkan dalam hadits Thariq bin Syihab riwayat Abu Dawud bahwa sholat Jumat itu dilakukan harus berjamaah, sehingga persyaratan jumlah jamaahnya adalah 2 orang. Ini adalah pendapat Imam asy-Syaukani.
Dalilnya adalah hadits Thariq bin Syihab tersebut dan hadits:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي فَقَالَ أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا
يُصَلِّي مَعَهُ فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَانِ جَمَاعَةٌ
Dari Abu Umamah bahwa Nabi
shollallaahu ‘alaihi wasallam melihat seseorang sholat (sendiri)
kemudian Nabi bersabda: Adakah seseorang yang bershodaqoh pada orang
tersebut sehingga sholat bersama laki-laki itu? Maka bangkitlah satu
orang untuk sholat bersama laki-laki tersebut. Kemudian Nabi bersabda 2
orang ini adalah berjamaah” (H.R Ahmad)
7. Kapan waktu pelaksanaan sholat Jumat?
Jawab:
Jumhur Ulama’ (Imam Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i) berpendapat bahwa waktu sholat Jumat sama dengan sholat Dzhuhur
Jawab:
Jumhur Ulama’ (Imam Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i) berpendapat bahwa waktu sholat Jumat sama dengan sholat Dzhuhur
عَنْ أَنَسٍ رَضِى اللّهُ عَنْه قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه
وسلم يُصَلِّى الجُْمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْل الشَّمْسُ . رواه البخارى وأحمد
وأبو داود والترمذى
Dari Anas radliyallahu ‘anhu beliau
berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam sholat Jumat pada saat
matahari tergelincir (H.R al-Bukhari).
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa sholat Jumat boleh dilakukan sebelum tergelincirnya matahari (tengah hari) atau waktunya sama dengan pelaksanaan sholat Ied, berakhir waktunya bersamaan dengan berakhirnya waktu sholat Dzhuhur.
Dalil yang digunakan di antaranya adalah:
1) Nabi menyatakan bahwa Jumat adalah Ied juga bagi kaum muslimin.
2) Hadits Jabir riwayat Muslim:
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa sholat Jumat boleh dilakukan sebelum tergelincirnya matahari (tengah hari) atau waktunya sama dengan pelaksanaan sholat Ied, berakhir waktunya bersamaan dengan berakhirnya waktu sholat Dzhuhur.
Dalil yang digunakan di antaranya adalah:
1) Nabi menyatakan bahwa Jumat adalah Ied juga bagi kaum muslimin.
2) Hadits Jabir riwayat Muslim:
عَنْ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَأَلَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ
مَتَى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي
الْجُمُعَةَ قَالَ كَانَ يُصَلِّي ثُمَّ نَذْهَبُ إِلَى جِمَالِنَا
فَنُرِيحُهَا زَادَ عَبْدُ اللَّهِ فِي حَدِيثِهِ حِينَ تَزُولُ الشَّمْسُ
Dari Ja’far dari ayahnya bahwa ia
menanyakan kepada Jabir bin Abdillah kapan Rasulullah shollallaahu
‘alaihi wasallam melakukan sholat Jumat?Beliau berkata: Kami dulu sholat
Jumat kemudian kembali ke tempat kami untuk istirahat. Ditambahkan oleh
Abdullah dalam haditsnya (kembalinya itu) pada saat tergelincirnya
matahari”(H.R Muslim).
3) Hadits Salamah bin al-Akwa’ riwayat Abu Dawud:
3) Hadits Salamah bin al-Akwa’ riwayat Abu Dawud:
كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجُمُعَةَ ثُمَّ نَنْصَرِفُ وَلَيْسَ لِلْحِيطَانِ فَيْءٌ
Kami sholat Jumat bersama Rasulullah
shollallaahu ‘alaihi wasallam kemudian kemi pulang sedangkan dinding
belum ada bayangannya (H.R Abu Dawud).
4) Hadits Abdullah bin Siidan as-Sulamy:
4) Hadits Abdullah bin Siidan as-Sulamy:
شَهِدْتُ الْجُمُعَةَ مَعَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ ، فَكَانَتْ
خُطْبَتُهُ وَصَلاَتُهُ قَبْلَ نِصْفِ النَّهَارِ ، ثُمَّ شَهِدْنَا مَعَ
عُمَرَ ، فَكَانَتْ خُطْبَتُهُ وَصَلاَتُهُ إِلَى أَنْ أَقُولَ : انْتَصَفَ
النَّهَارُ ، ثُمَّ شَهِدْنَا مَعَ عُثْمَانَ ، فَكَانَتْ صَلاَتُهُ
وَخُطْبَتُهُ إِلَى أَنْ أَقُولُ : زَالَ النَّهَارُ ، فَمَا رَأَيْتُ
أَحَدًا عَابَ ذَلِكَ ، وَلاَ أَنْكَرَهُ
Aku mengikuti sholat Jumat bersama
Abu Bakar as-Shiddiq, pelaksanaan khutbah dan sholatnya dilakukan
sebelum tengah hari, kemudian aku juga sholat bersama Umar, khutbah dan
sholatnya berakhir pada tengah hari, kemudian aku pernah sholat bersama
Usman, sholat dan khutbahnya sampai waktu zawal. Aku tidak pernah
mendapati seseorang mencela atau mengingkari hal itu (H.R Ahmad,
adDaruquthny, Ibnu Abi Syaibah).
Al-Lajnah ad-Daaimah berfatwa bahwa sebaiknya sholat Jumat dilakukan setelah lewat tergelincirnya matahari, karena demikianlah yang paling banyak dilakukan Nabi, namun jika suatu saat keadaan membutuhkan dilakukan beberapa menit sebelum tengah hari, maka yang demikian tidak mengapa.
Al-Lajnah ad-Daaimah berfatwa bahwa sebaiknya sholat Jumat dilakukan setelah lewat tergelincirnya matahari, karena demikianlah yang paling banyak dilakukan Nabi, namun jika suatu saat keadaan membutuhkan dilakukan beberapa menit sebelum tengah hari, maka yang demikian tidak mengapa.
8. Apakah mandi pada hari Jumat adalah kewajiban?
Jawab:
Mandi Jumat adalah amalan yang sangat ditekankan, namun tidak sampai pada taraf wajib. Sesuai dengan hadits:
Jawab:
Mandi Jumat adalah amalan yang sangat ditekankan, namun tidak sampai pada taraf wajib. Sesuai dengan hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَأَحْسَنَ
الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَدَنَا وَأَنْصَتَ وَاسْتَمَعَ غُفِرَ
لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
قَالَ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Dari Abu Hurairah beliau berkata
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang
berwudlu’ pada hari Jumat kemudian membaguskan wudlu’nya, kemudian
mendatangi pelaksanaan sholat Jumat, mendekati (khotib), diam dan
menyimak khutbah dengan baik, maka akan diampuni (dosa) antara 2 Jumat
ditambah 3 hari. Barangsiapa yang memainkan kerikil maka ia telah
sia-sia (H.R Ahmad)
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ (رواه الترمذي)
Barangsiapa yang berwudulu’ pada hari Jumat, maka itu baik. Barangsiapa mandi, maka mandi adalah lebih utama” (H.R atTirmidzi).
Hendaknya seseorang muslim bersemangat dan berupaya keras agar bisa melakukan mandi Jumat. Keutamaan mandi pada hari Jumat telah tercapai jika seseorang mandi setelah terbit fajar pada hari Jumat. Namun, pelaksanaan mandi menjelang sholat Jumat adalah lebih utama (disarikan dari Majmu’ Fatwa Syaikh Bin Baz)
Hendaknya seseorang muslim bersemangat dan berupaya keras agar bisa melakukan mandi Jumat. Keutamaan mandi pada hari Jumat telah tercapai jika seseorang mandi setelah terbit fajar pada hari Jumat. Namun, pelaksanaan mandi menjelang sholat Jumat adalah lebih utama (disarikan dari Majmu’ Fatwa Syaikh Bin Baz)
9. Apakah hukum melakukan jual beli pada saat dikumandangkan adzan Jumat?
Jawab:
Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa pelaksanaan jual beli pada saat dikumandangkan adzan Jumat (naiknya khotib ke mimbar) adalah haram dan batil. Haram menyebabkan pelakunya berdosa, sedangkan batil artinya akad jual beli itu tidak sah, sehingga pembeli tidak memiliki hak milik terhadap barang yang dibeli waktu itu.
Jawab:
Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa pelaksanaan jual beli pada saat dikumandangkan adzan Jumat (naiknya khotib ke mimbar) adalah haram dan batil. Haram menyebabkan pelakunya berdosa, sedangkan batil artinya akad jual beli itu tidak sah, sehingga pembeli tidak memiliki hak milik terhadap barang yang dibeli waktu itu.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Wahai orang-orang yang beriman, jika
kalian diseru (dikumandangkan adzan) untuk sholat Jumat maka
bergegaslah menuju dzikir kepada Allah dan tinggalkan jual beli (Q.S
al-Jum’ah:9).
Sebagian Ulama merinci bahwa larangan tersebut adalah jika salah satu pelaku (pembeli atau penjual) adalah orang yang wajib mendatangi sholat Jumat.
Sebagian Ulama merinci bahwa larangan tersebut adalah jika salah satu pelaku (pembeli atau penjual) adalah orang yang wajib mendatangi sholat Jumat.
10. Apakah ada keutamaan berpagi-pagi mendatangi sholat Jumat? Bagaimana pembagian waktunya?
Jawab:
Jawab:
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ
حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ (متفق عليه
Barangsiapa yang mandi janabah pada
hari Jumat kemudian berangkat ke masjid maka seakan-akan ia berkurban
unta, barangsiapa yang berangkat di waktu yang kedua seakan-akan
berkurban sapi, barangsiapa yang berangkat di waktu yang ketiga
seakan-akan berkurban kambing, barangsiapa yang berangkat di waktu yang
ke empat seakan-akan berkurban ayam, barangsiapa yang berangkat di waktu
yang kelima seakan-akan berkurban telur. Jika Imam keluar, malaikat
hadir mendengarkan dzikir (khutbah)(Muttafaqun ‘alaih).
Pembagian waktu tersebut dimulai dengan terbitnya matahari di hari Jumat dan berakhir sampai Imam mulai naik mimbar. Rentang waktu tersebut dibagi dalam 5 bagian (penjelasan Syaikh al-Utsaimin dalam Syarhul Mumti’).
Sebagai contoh (untuk memudahkan pemahaman), jika pada suatu Jumat matahari terbit adalah jam 6 pagi (WIB) dan waktu Dzuhur bermula pada jam 12 siang (Imam naik ke atas mimbar), maka rentang waktu 6 jam tersebut dibagi 5 bagian. 6 jam = 6 x 60 menit =360 menit. Jika 360 menit dibagi 5, maka masing-masing waktu itu adalah 72 menit atau 1 jam lebih 12 menit. Sehingga pembagian waktu bagi orang yang mendatangi masjid dan menunggu imam di sana dengan aktivitas ibadah, kurang lebih sebagai berikut:
Waktu I (seperti berkurban unta) : 06.00 WIB – 07.12 WIB
Waktu II (seperti berkurban sapi) : 07.12 WIB- 08.24 WIB
Waktu III (seperti berkurban kambing) : 08.24 WIB – 09.36 WIB
Waktu IV (seperti berkurban ayam) : 09.36 WIB – 10.48 WIB
Waktu V (seperti berkurban telur) : 10.48 WIB – 12.00 WIB
Pembagian waktu tersebut dimulai dengan terbitnya matahari di hari Jumat dan berakhir sampai Imam mulai naik mimbar. Rentang waktu tersebut dibagi dalam 5 bagian (penjelasan Syaikh al-Utsaimin dalam Syarhul Mumti’).
Sebagai contoh (untuk memudahkan pemahaman), jika pada suatu Jumat matahari terbit adalah jam 6 pagi (WIB) dan waktu Dzuhur bermula pada jam 12 siang (Imam naik ke atas mimbar), maka rentang waktu 6 jam tersebut dibagi 5 bagian. 6 jam = 6 x 60 menit =360 menit. Jika 360 menit dibagi 5, maka masing-masing waktu itu adalah 72 menit atau 1 jam lebih 12 menit. Sehingga pembagian waktu bagi orang yang mendatangi masjid dan menunggu imam di sana dengan aktivitas ibadah, kurang lebih sebagai berikut:
Waktu I (seperti berkurban unta) : 06.00 WIB – 07.12 WIB
Waktu II (seperti berkurban sapi) : 07.12 WIB- 08.24 WIB
Waktu III (seperti berkurban kambing) : 08.24 WIB – 09.36 WIB
Waktu IV (seperti berkurban ayam) : 09.36 WIB – 10.48 WIB
Waktu V (seperti berkurban telur) : 10.48 WIB – 12.00 WIB
Dijelaskan dalam riwayat lain bahwa jika
Imam telah naik mimbar, maka seseorang tidak dapat keutamaan pahala
berkurban tersebut karena catatan telah ditutup.
Wallaahu Ta’ala A’lam bisshowaab
0 komentar:
Posting Komentar